MAKALAH
KESULITAN MELAFALKAN DAN MEMBEDAKAN HURUF F , V dan P KHUSUSNYA PDA MASYARAKAT SUNDA
Oleh:
KESULITAN MELAFALKAN DAN MEMBEDAKAN HURUF F , V dan P KHUSUSNYA PDA MASYARAKAT SUNDA
Oleh:
AMRI RAZAK
1200557/2012
REGULER 13 BUKITTINGGI
REGULER 13 BUKITTINGGI
Dosen Pembimbing :Nur Azmi Alwi S.S.M.Pd
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UPP
IV BUKITTINGGI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG (UNP)
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa,karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun karya tulis ini
tanpa suatu halangan apapun dengan tema “Kesulitan Dalam Melafalkan Dan Membedakan
Huruf “F” , “V” Dan “P” Khususnya
Dalam Masyarakat Sunda”.Karya Tulis ini disusun untuk memenuhi nilai Kajian Kebahasaan SD
,disamping itu penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembacanya agar dapat mengetahui tentang
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nur Azmi Alwi S.S.M.Pd selaku dosen
pembimbing dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
karya tulis ini sehingga dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan untuk lebih baik kedepannya.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Kover.....................................................................................................
Kata Pengantar……………………………………..…………….........
Daftar Isi……………………………….....………..…………….........
BAB I.PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang……………………………..………………............
2.
RumusanMasalah..............................................................................
3.
Tujuan
Penulisan...............................................................................
BAB II. PEMBAHASAN
1.
Kesulitan Dalam Melafalkan
Dan Membedakan Huruf “F”,“V”
Dan “P” Khususnya Dalam
Masyarakat Sunda........................................
BAB III.PENUTUP
1. Kesimpulan.......................................................................................
2. Saran................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam kehidupan ini tidak semua
orang dapat melafalakan dan membedakan huruf huruf secara benar dan tepat, baik
itu melalui pengucapan ataupunm dalam penulisannya. Kasus yang sering ditemukan
yaitu kesulitan dalam pelafalan dan membedakan antara huruf /f/, /p/, dan /v/.
dalam tulisan-tulisan tertentu seringkali ditemukan kekeliruan ini. Jadi karena
hal tersebutlah makanya penulis ingin mengemukakan apa yang menyebabkan hal
tersebut bisa terjadi
Kekeliruan dan kesulitan dalam pelafalan
dan membedakan huruf-huruf ini paling banyak ditemukan terutama pada masyarakat
Sunda yang berada di pulau Jawa. Dari salah satu sumber dikatakan hal itu
terjadi karena latar belakang sejarah pengenalan huruf di dalam masyarakat
tersebut.
Rumusan Masalah
1. Apa yang mennyebabkan seseorang susah melafalkan dan membedakan huruf
/f/, /p/ dan /v/ terutama pada masyarakat Sunda?
2. Bagaimana pengenalan huruf /f/, /p/, dan /v/ dalam arkeologi bahasa?
3. Bagaimana modernisasi huruf khususnya pada huruf sunda kuno?
2. Bagaimana pengenalan huruf /f/, /p/, dan /v/ dalam arkeologi bahasa?
3. Bagaimana modernisasi huruf khususnya pada huruf sunda kuno?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penyebab kesulitan dalam membedakan dalam pelafalan huruf./f/,/p/, dan /v/.
2. Agar dapat memberikan pengetahuan bagaimana sebenarnya pelafalan dan perbedaan antara huruf /f/,/p/, dan /v/
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Kesulitan
Dalam Melafalkan Dan Membedakan Huruf “F” , “V” Dan “P” Khususnya Pada Masyarakat Sunda
Huruf keenam
dalam jajaran alfabet yaitu huruf ”F”, bagi orang-orang tertentu menjadi rancu
dengan huruf “P” dan “V” ketika digunakan dalam ragam bahasa lisan maupun
tulisan. Sejauh
pengamatan kosakata bahasa Indonesia yang melibatkan bunyi /f/, baik di awal
maupun di tengah kosakata tertentu, banyak yang berasal dari bahasa Arab dan
bahasa Inggris, misalnya:
o Fakta,
o Faedah,
o Fakultas,
o Fiktif,
o Fakir,
o Fitrah,
o Fitri, dan
o Fulus
Kosakata
bahasa Indonesia yang melibatkan bunyi /v/ banyak yang berasal dari bahasa
Inggris dan Belanda, misalnya:
o Vokal,
dan
o Universitas.
Sementara itu, kosakata bahasa
Indonesia yang melibatkan bunyi /p/ banyak yang berasal dari bahasa daerah,
misalnya dari bahasa Jawa yaitu:
o Cungkup,
dan
o Punden
Kesulitan melafalkan huruf tidak
hanya di temukan pada anak-anak dan masyarakat awam saja, tapi juga pada
masyarakat yang yang tergolong berpendidikan cukup tinggi. Pernah ditemukan
dalam beberapa diktat kuliah Perguruan Tinggi Negeri yang mana disusun
oleh dosen-dosen asli Sunda, yang banyak memuat kekeliruan penulisan antara “F”
dan “P”. Orang-orang Sunda suka membela diri dengan mengatakan, ” Siapa bilang orang sunda tidak bisa bilang
“F”, itu teh Pitnah!, Pitnah!”
Memang huruf “F” bukan huruf dan lafal asli daerah Sunda. Huruf “F” berasal dari kosa kata bahasa Arab dan Eropa. Yang menarik adalah suku Jawa sebagai tetangga terdekat suku sunda tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam melafalkan huruf “F”, kecuali untuk beberapa masyarakat generasi sepuh di pedalaman Jawa. Padahal Jawa dan Sunda memiliki sejarah yang hampir sama dalam hal interaksi dengan bangsa asing yang telah membawa huruf “F” dalam budaya lisan dan literatur mereka.
Meruntut sejarahnya, huruf “F” pertama kali dibawa dan diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13. Bangsa Arab memiliki lafal “F” dari huruf asli “Fa’ yang banyak digunakan dalam kosa kata mereka yang tersebar baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang keagamaan. Kesulitan pelafalan huruf “F” ini masih dapat ditemukan dalam masyarakat, khususnya generasi sepuh, yang kesulitan melafalkan “F”, misalnya ketika mengucapkan kata “film” (bahasa inggris) menjadi “pilem”. Tapi secara general, hampir seluruh suku Jawa tidak kesulitan dalam melafalkan huruf “F”.
Kekeliruan dalam pelafalan dan penulisan huruf “F” menjadi huruf “P”, huruf “P” menjadi huruf “V” ini memang tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang tidak seperti bahasa Arab yang membedakan kata qolbun ‘hati’ dan kalbun ‘anjing’. Tidak juga seperti bahasa Inggris yang membedakan back ‘belakang’ dengan bag ‘tas’. Akan tetapi, bukankah menjadi aneh ketika ada orang yang menulis pasti menjadi fasti, saraf menjadi sarap, atau apes menjadi aves.
Berkaitan dengan kesulitan pelafalan bunyi /f/ dan /v/ ini, budayawan Jakob Sumarjo dalam buku ‘Simbo-simbol Artefak Budaya Sunda (2009) menyatakan bahwa alam pikiran dan tingkah laku masyarakat yang tercermin dari peninggalan budayanya dapat mengendap menjadi pengetahuan nilai-nilai seseorang, bukan hanya terdiri dari perolehan nilai sekarang, tetapi juga dari masa-masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut kadang tidak disadari oleh para pelakunya. Hal ini tentunya juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa seseorang. Oleh karena itu, perilaku berbahasa masyarakat Sunda, Lampung, dan Jawa yang tidak memiliki aksara “fa” dan “va” juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa masyarakatnya sekarang ini yang cenderung sulit melafalkan bunyi /f/ dan /v/.
Uniknya, perilaku masyarakat bahasa yang tidak memiliki aksara fa dan va ini berbeda dalam hal pemberian nama. Masyarakat Sunda, misalnya, cenderung menghindari penggunaan bunyi atau huruf /f/ dan /v/ dalam pemberian nama anak, misalnya epi, saipul, pitri,epa, ipan. Hal ini berbeda dengan masyarakat Lampung, misalnya, yang gemar menggunakan huruf /f/ dan /v/ dalam pemberian nama anak. Akan tetapi, dalam praktik pelafalannya tetap saja bunyi /f/ dan /v/ ini dilafalkan sebagai /p/.
Kesulitan dalam melafalkan huruf ‘f’ dan ‘v’ sering ditemukan dalam masyarakat Sunda. Misalnya ketika menyebutkan nama Veni atau Feri maka lawan bicaranya akan bertanya P-nya Fanta atau P-nya VW. Hal ini menunjukan kebingungan bagi orang yang diajak bicara karena ketidakjelasan seorang Sunda dalam melafalkan bunyi P, F, atau V. Hal tersebut tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi orang Sunda. Bahkan sindir Jamaludin Wiartakusumah dalam Kompas (18/09) orang Sunda tidak akan bisa menjadi Presiden Finlandia karena tidak bisa melafalkan bunyi f dan v.
Arkeologi Bahasa
Aksara dan bahasa Sunda Kuno sudah hidup ratusan tahun lamanya. Jika merujuk pada berdirinya kerajaan pertama, umurnya sudah ribuan tahun. Tulisan dengan huruf Sunda muncul tahun 500-an seperti digunakan dalam tulisan prasasti yang ditemukan di Bogor. Aksara Sunda Kuno ini dikenal dengan Istilah Kaganga. Dalam Huruf Kaganga tidak dikenal huruf Va atau Fa, yang ada hanya Pa. Ratusan tahun lamanya tradisi pelafalan konsonan P (pe) tanpa mengenal huruf V (vi) atau F (ef) mengendap dalam alam pikiran Manusia Sunda sehingga wajar jika orang Sunda tidak terbiasa melafalkan konsonan tersebut dalam bunyi bahasa.
Beratus-ratus tahun tradisi ini digunakan secara turun-temurun. Persentuhan dengan pendidikan modern (kolonialism) tidak membuat alam pikiran manusia Sunda berubah termasuk dalam melafalkan bunyi huruf. Namun orang yang tertempa pendidikan modern sedikit demi sedikit tergeser dan terbiasakan dengan pelafalan huruf f, p dan v. Persentuhan dengan dunia modern tersebut menggeser alam pikiran sebagian manusia Sunda sehingga tidak sadar bahwa pada awalnya huruf F dan V tersebut sama sekali tidak dikenal dalam alam pikiran manusia Sunda.
Walaupun dalam kehidupan Sunda modern sebagian alam fikirannya sudah tergeser oleh alam pikiran modern namun bagi sebagian yang lain alam pikiran sunda ini terus mengendap. Aksara latin modern sudah dikenalkan, namun dalam pengucapan tetap saja masih alam pikiran manusia Sunda. Maka muncullah istilah kampungan terhadap manusia Sunda yang tidak mampu atau sulit melafalkan V atau F walaupun hidup dalam lingkungan akademis sekalipun.
Inilah apa yang disebut sebagai pikiran arkeologis oleh Pengamat dan ahli budaya Sunda, Jakob Sumarjo. Menurut pandangannya dalam buku ‘Simbol - simbol Artefak Budaya Sunda (2009), alam pikiran manusia Sunda yang tercermin dari peninggalan budayanya—dalam hal ini aksara Sunda—dapat dirujuk dari tingkah laku manusianya. Menurutnya alam pikiran yang mengendap menjadi pengetahuan nilai-nilai seseorang, bukan hanya terdiri dari perolehan nilai sekarang, tetapi juga dari masa-masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai arkeologi tersebut menurut Jakob Sumarjo kadang tidak disadari oleh para pelakunya. Inilah yang dijadikan dasar penulis untuk menafsirkan perihal kesulitan manusia Sunda dalam melafalkan konsonan F dan V dalam bahasa kesehariannya.
Bunyi huruf yang diartikulasikan dalam bahasa Sunda juga merupakan arkeologi pikiran. Arkeologi pikiran tersebut lanjut Jakob Sumardjo mengendap dan terpendam dalam pengalaman bawahnya. Pikiran-pikiran tua dalam melafalkan bunyi bahasa akan muncul manakala pikiran tidak dikuasai sepenuhnya. Ketidakmampuan dalam melafalkan bunyi beberapa konsonan yang tidak terdapat dalam alam pikiran manusia Sunda tersebut akan dibawa kemanapun ketika seorang manusia Sunda pergi. Hal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja karena ini adalah apa yang disebut Jakob Sumardjo sebagai pikiran otentik manusia Sunda. Oleh karena itulah, walaupun telah tertempa pendidikan modern yang mengenalkan pikiran baru dalam dunianya seorang manusia Sunda yang memiliki arkeologi pikiran local, jika kesadaran tidak dikuasainya maka bunyi konsonan v/f akan tetap berbunyi p.
Modernisasi Huruf Sunda Kuno
Modernisasi mengharuskan kita beradaptasi dengan lingkungan baru, begitupun dalam persoalan aksara. Sejak kemunculan wacana lokalitas, huruf Sunda kuno diperkenalkan lagi bahkan di setiap nama jalan di Jawa Barat selalu diiringi dengan terjemahan dalam aksara Sunda kuno. Adaptasi dilakukan karena berkaitan dengan penyesuaian huruf-huruf yang ada dalam aksara Sunda kuno dengan huruf-huruf yang terdapat dalam aksara latin sebagai aksara pergaulan. Adaptasi huruf tersebut diantaranya adalah penambahan huruf V (Vi) dan F (Ef). Dalam aksara Sunda huruf tersebut dibaca menjadi Va [va] dan Fa [fa]. Huruf lainnya adalah X (eX), Z (Zet), dan Q (Qiu). Dalam aksara Sunda kuno aksara tersebut dibaca menjadi Xa [xa], Za [za] dan Qa [qa]. Penyesuaian huruf-huruf tersebut tentu saja sebagai upaya pemudahan transliterasi antar kedua aksara tersebut. Adaptasi tersebut dilakukan oleh Team penyusun Aksara Sunda, Undang A. Darsa seorang ahli Aksara Sunda dan peneliti filologi beserta teamnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat kita ketahui bahwa penyebab kesulitan dalam pelafalan dan
membedakan uruf /f/, /p/ dan /v/ itu terjadi karena pengenalan huruf-huruf
tersebut berasal dari negara yang berbeda-beda. Dalam kosakata bahasa Indonesia
yang banyak ditemukan penggunaan huruf /f/ banyak berasal dari bahasa arab dan
inggris seperti fitri, fulus, fakta, filosofis dsb. Kosakata bahasa Indonesia yang
melibatkan bunyi /v/ banyak yang berasal dari bahasa Inggris dan Belanda,
misalnya vokal, dan universitas. Dan kosakata bahasa Indonesia yang
melibatkan bunyi /p/ banyak yang berasal dari bahasa daerah, misalnya dari
bahasa Jawa yaitu cungkup dan punden.
DAFTAR PUSTAKA
Sutan
Takdir Alisyahbana menggunakan istilah ‘dasarucapan’ untuk mengacu pada segi place
of articulation dalam Fonetik. Lihat Alisyahbana, Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia Jilid I, 1958, hal. 15.
http://pusatbahasa.depdiknas.go.id